Translate

Kamis, 07 Juni 2012

MAKALAH PROFESIONALISME GURU


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam rangka turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, peranan guru sangat penting sekali untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berakhlak mulia. Kita sadari, bahwa peran guru sampai saat ini masih eksis, sebab sampai kapanpun posisi atau peran guru tersebut tidak akan bisa digantikan sekalipun dengan mesin sehebat apapun, mengapa ? Karena, guru sebagai seorang pendidik juga membina sikap mental yang menyangkut aspek-aspek manusiawi dengan karakteristik yang beragam dalam arti berbeda antara satu siswa dengan lainnya. Banyak pengorbanan yang telah diberikan oleh seorang guru semata-mata ingin melihat anak didiknya bisa berhasil dan sukses kelak. Tetapi perjuangan guru tersebut tidak berhenti sampai disitu, guru juga merasa masih perlu meningkatkan kompetensinya agar benar-benar menjadi guru yang lebih baik dan lebih profesional terutama dalam proses belajar mengajar sehari-hari.
Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar, tugas guru ini sangat berkaitan dengan kompetensi profesionalnya. Hakikat profesi guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan.
Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah tulisan, namun dengan tulisan ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk merefleksikan kembali pilihan kita.                                                                             
1.2 Tujuan                                                                                                                                
Sesuai dengan kenyataan yang melatar belakangi, makalah ini bertujuan :
1.    Untuk mengetahui pengertian dan Profesi Guru.
2.    Untuk mengetahui profesi guru dan hambatan-hambatannya.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:              1.Apakah arti profesi guru?
2.Bagaimanakah menjadi guru yang professional?
1.4 Lingkup Penelitian
Pembahasan makalah ini hanya terbatas pada Guru profesi
BAB II
        PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Profesi
Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain, profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya, ia dan keluarganya harus hidup akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.

2.2 Professional
Professional yaitu seorang guru, yang ahli dalam bidang keilmuan yang dikuasainya dituntut bukan hanya sekedar mampu menransfer keilmuan ke dalam diri anak didik, tetapi juga mampu mengembangkan potensi yang ada dalam diri poserta didik. Maka, bentuk pembelajaran kongkret dan penilaian secara komprehensif diperlukan untuk bisa melihat siswa dari berbagai perspektif. Persiapan pembelajaran menjadi sesuatu yang wajib dikerjakan, dan pelaksanaan aplikasi dalam kelas berpijak kepada persiapan yang telah dibuat dengan menyesuaikan terhadap kondisi setempat atau kelas yang berbeda. Kepedulian untuk mengembangkan kemampuan afektif, emosional, social dan spiritual siswa, sesuatu yang vital untuk bisa melihat kelebihan atau keungulan yang terdapat dalam diri anak. Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan menemukan aktualisasi sehingga tumbuh rasa percaya diri.
Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang 2 tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1.    Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik untuk pengembangan bakat anak didik.
2.    Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat ekslusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemungkinan akan timbulnya visi bersama akan hal yang baik.
Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengem- bangkan visi apa yang baik secara kon-krit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasyarakat. Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki tanggungjawab terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga sekolah. Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, pelajaran dan siswa supaya mengalami proses belajar mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik artinya guru mempunyai kewenangan. Hal ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.
Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses' anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga sekolah. Lembaga sekolah boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga sekolah atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga sekolah atau guru.
Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui proses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut
2.3 Dua Prinsip Etika Profesi Luhur
Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. "Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan orang. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok, para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profesional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepen-tingan klien."
Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam ke-adaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.
Kesimpulannya adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
2.4 Tantangan Profesi Guru

(1) Perkembangan Teknologi Informasi

Dalam  rangka    meningkatkan  profesionalisme  guru,  terjadinya  revolusi  teknologi informasi  merupakan  sebuah  tantangan  yang  harus  mampu  dipecahkan  secara  mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi  yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi   oleh   ilmu   pendidikan   dengan   dukungan   berbagai   pengalaman   para   praktisi pendidikan di lapangan.
Perkembangan   teknologi   (terutama   teknologi   informasi)   menyebabkan   peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.  Peran  guru  juga  tidak  akan  menjadi  satu-satunya  sumber  belajar  karena  banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Teknologi  mempunyai  gagasan  mereformasi  sistem pendidikan masa depan. Apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta,  dan  menjalani  kehidupannya  dengan  berani  dan  percaya   diri  atas  fasilitasi lingkungannya  (keluarga  dan  masyarakat)  serta  peran  sekolah  tidak  hanya  menekankan untuk  mendapatkan  nilai-nilai  ujian  yang  baik  saja,  maka  akan  jauh  lebih  baik  dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan adalah bagaimana agar  lulusan  suatu  sekolah  dapat  cukup  pengetahuannya  dan  kompeten  dalam  bidangnya, tapi  juga  matang dan  sehat  kepribadiannya.  Bahkan  konsep  tentang sekolah  di  masa  yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga    yang   banyak dan perangkat lainnya. Sekolah    harus bekerja    sama      secara komplementer dengan  sumber  belajar  lain  terutama  fasilitas  internet  yang  telah  menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun   kemajuan   teknologi   informasi   di   masa   yang   akan   datang, keberadaan sekolah tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus
sekolah,  karena  dengan  alasan  telah  ada  teknologi  informasi  yang  maju.  Ada  sisi-sisi tertentu   dari   fungsi   dan   peranan   sekolah   yang   tidak   dapat   tergantikan,   misalnya hubungan   guru-murid   dalam   fungsi   mengembangkan   kepribadian   atau   membina hubungan  sosial,  rasa  kebersamaan,  kohesi  sosial,  dan  lain-lain.  Teknologi  informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau sumber bahan ajar. Bahan ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat  diubah  menjadi  pembelajaran  yang diindividualisasikan  melalui  jaringan  internet yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun secara individu.
Inilah  tantangan  profesi  guru.  Apakah  perannya  akan  digantikan  oleh  teknologi informasi,  atau  guru  yang  memanfaatkan  teknologi  informasi  untuk  menunjang  peran profesinya.
Dunia pendidikan harus   menyiapkan seluruh unsur   dalam sistim pendidikan agar tidak  tertinggal  atau  ditinggalkan  oleh  perkembangan  teknologi  informasi  tersebut. Melalui  penerapan  dan  pemilihan  teknologi  informasi  yang  tepat  (sebagai  bagian  dari teknologi  pendidikan),  maka  perbaikan  mutu  yang  berkelanjutan  dapat  diharapkan. Perbaikan  yang  berlangsung  terus  menerus  secara  konsisten/konstan  akan  mendorong orientasi  pada  perubahan  untuk  memperbaiki  secara  terus  menerus  dunia  pendidikan. Adanya  revolusi  informasi  dapat  menjadi  tantangan  bagi  lembaga  pendidikan  karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik   bila   lembaga   pendidikan   mampu   menyikapi   dengan   penuh   keterbukaan   dan berusaha  memilih  jenis  teknologi  informasi  yang  tepat,  sebagai  penunjang  pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan  jenis  media  sebagai  bentuk  aplikasi  teknologi  dalam  pendidikan  harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.

(2) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan

Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik.  Sejak  diundangkan  UU  No.22/1999  tentang  Pemerintah  Daerah  maka menandai  perlunya  desentralisasi  dalam  banyak  urusan  yang  semula  dikelola  secara sentralistik.  Menurut  Tjokroamidjoyo  (dalam  Jalal  dan  Supriyadi,  2001),  bahwa  salah satu  tujuan  dari  desentralisasi  adalah  untuk   meningkatkan  pengertian  rakyat   serta dukungan   mereka   dalam   kegiatan   pembangunan   dan   melatih   rakyat   untuk   dapat mengatur  urusannya  sendiri.  Ini  artinya,  bahwa  kemauan  berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan  (termasuk  dalam  pengembangan  pendidikan)  harus  ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya  paradigma  pembangunan  yang  sentralistik  ke  desentralistik  telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam  arti  yang lebih  luas.  Dengan  demikian,  masyarakat  harus  mampu  meningkatkan kualitas   kemandirian   mengatasi   masalah   yang   dihadapinya,   baik   secara   individual maupun secara kolektif.
Belajar  dari  pengalaman bahwa  ketika  peran  pemerintah  sangat  dominan  dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan  dari  proses  pembangunan  itu  sendiri.  Penguatan  partisipasi  masyarakat haruslah  menjadi  bagian  dari  agenda  pembangunan  itu  sendiri,  lebih-lebih  dalam  era globalisasi.  Peranserta  masyarakat  harus  lebih  dimaknai  sebagai  hak  daripada  sekadar kewajiban.  Kontrol  rakyat  (anggota  masyarakat)  terhadap  isi  dan  prioritas  agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol  agenda  dan  urutan  prioritas  pembangunan  bagi  dirinya  atau  kelompoknya.
Desentralisasi  adalah  penyerahan  sebagian  otoritas  pemerintah  pusat  ke  daerah, untuk   mendistribusikan   beban   pemerintah   pusat   ke   daerah   sehingga   daerah   dan masyarakatnya  ikut  menanggung  beban  tersebut.  Tujuannya  adalah:  (1)  mengurangi beban  pemerintah  pusat  dan  campur  tangan  tentang  masalah-masalah  kecil  di  tingkat lokal,   (2)   meningkatkan   partisipasi   masyarakat,   (3)   menyusun   program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri,    (5)membina kesatuan    nasional  yang   merupakan      motor penggerak memberdayakan  daerah.   Dalam   desentralisasi   pendidikan,   pemerintah   pusat   lebih berperan   dalam   menghasilkan   kebijaksanaan   mendasar   (menetapkan   standar   mutu pendidikan  secara  nasional),  sementara  kebijaksanaan  operasional  yang  menyangkut variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum  dan  proses  pendidikan  dalam  kerangka  otonomi  daerah,  ada  bagian yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN,  Sejarah  Nasional,  Pendidikan  Agama,  dan  Bahasa  Indonesia;  (2)  Pengendalian mutu  pendidikan,  berdasarkan  standar  kompetensi  minimum;  (3)  Kandungan  minimal kompeteten  setiap  bidang studi,  khususnya  yang menyangkut  ilmu-ilmu  dasar;  (4)  Standar- standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program   pembelajaran   di   sekolah   berupa   desain   kurikulum   dan pelaksanaannya,   kegiatan-kegiatan   nonkurikuler   sampai   pada   pengadaan   kebutuhan sumber  daya  untuk  suatu  sekolah  agar  dapat  berjalan  lancar,  tampaknya  harus  sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula
di  lembaga-lembaga  pendidikan  lainnya  nonsekolah,  ruang  partisipasi  tersebut  harus dibuka  lebar  agar  tanggung  jawab  pengembangan  pendidikan  tidak  tertumpu  pada lembaga  pendidikan  itu  sendiri,  lebih-lebih  pada  pemerintah  sebagai  penyelenggara
negara.
Cara untuk penyaluran  partisipasi  dapat  diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai  dengan  kondisi  masing-masing  wilayah  atau  komunitas  tempat  masyarakat  dan lembaga   pendidikan   itu   berada.   Kondisi   ini   menuntut   kesigapan   para   pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung  sumbangan  partisipasi  masyarakat.  Sebaliknya,  dari pihak  masyarakat (termasuk  orang  tua  dan  kelompok-kelompok  masyarakat)  juga  harus  belajar  untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat   lain,   termasuk   orang  tua   siswa.   Dengan   cara   seperti   itu,   maka   mutu pendidikan  suatu  lembaga  pendidikan  akan  menjadi  tanggung  jawab  bersama  antara
lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.


2.5 Kode Etik Guru
KODE ETIK GURU INDONESIA
Cara indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap tuhan yang maha esa bangsa dan negara kemanusiaan pada umumnya guru indonesia yang berjiwa pancasila dan setia pada undang-undang turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan repoblik indonesia oleh sebab itu guru indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1.    Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
2.    Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional
3.    Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
4.    Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
5.    Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab bersama terhadap pendidikan
6.    Guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
7.    Guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
8.    Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9.    Guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam pendidikan

BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Manusia modern dihadapkan pada pekerjaan yang dilatarbelakangi oleh pendidikan apa yang dia capai. Lulusan fakultas teknik akan menjalani profesi sebagai Insinyur, Lulusan fakultas Kedokteran akan menjalani profesi sebagai dokter, Fakultas Ekonomi akan menjalani profesi sebagai Akuntan, Ekonom, atau seorang Lulusan Pendidikan Keguruan, akhirnya menjadi seorang guru yang dalam undang-undang No. 14/2005 tentang guru dan dosen sebagai Profesi Guru.
Profesi memiliki konsekuensi, bukan saja kompetensi akademik, sosial, atau kompetensi kompetensi lainnya. Melainkan juga melekat apa yang disebut sebagai kaum profesional. Guru adalah sebutan akhir yang kita kategorikan sebagai golongan kaum profesional. Nasib profesional guru tidaklah secepat cemerlang profesi yang telah ada dulu. Mengapa demikian ?
Secara historis, keberadaan kaum pendidik di Indonesia memang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Belanda menyekolahkan kaum priyai, untuk menghindari penggunaan guru-guru asal Belanda dalam mendidik para siswa di tanah jajahannya. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan jika Kaum belanda harus mengimpor guru langsung dari Belanda. Anggaran untuk bayar gaji, penginapan, transportasi dll akan menguras kas Belanda. Kondisi demikian lantas diakali dengan memilih pribadi dan warga terbaik untuk menjadi guru

3.2 Saran

Sesuai ajaran ki hajar dewantara, pendiri perguruan taman siswa yang juga tokoh pendidikan nasional, guru harus bersikap ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Artinya, guru harus mampu memberi contoh di depan bagi siswanya, mampu menciptakan peluang bagi siswanya untuk berkreasi, dan di belakang ia mampu memberikan dorongan bagi siswanya untuk maju dan berkembang sesuai dengan potensi diri.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar