Translate

Kamis, 07 Juni 2012

Layangan Tradisional Muna “Kaghati”


          Mengapa layang-layang tradisional Muna Kaghati tetap dilestarikan oleh mayarakat Muna. Salah satunya karena disamping sebagai hiburan dikala sesudah menanam dan dikala setelah selesai panen, tapi juga berlatar belakang yang sangat sakral dan keyakinan mendalam bagi masyarakat tradisional Muna dahulu kala serta mempunyai nilai ritual tersendiri berikut penjelasan dari nara sumber tentang cerita rakyat dari turun-temurun yang tidak tetulis sebagai berikut.

           Bahwa sesuai cerita turun temurun,masyarakat terutama yang mendiami pulau muna ada dua kelompok, kelompok pertama yang tinggal dalam gua dan kelompok ke dua yang tinggal di atas pohon. Kelompok masyarakat yang tinggal di gua-gua dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang bernama:LAPASINDAEDAENO dengan istrinya yang bernama WA NTIWOSE, mereka mempunyai anak laki-laki yang bernama: LA RANGKU. Pada saat itu ke dua kelompok masyarakat ini hidup bersamaan dan tidak pernah ada pertengkaran diantara mereka. Mereka belum mengenal pakayan dan api, makanannya hanya binatang-binatang,buruan berupa babi hutan, biawak, ular dan lain-lain. Mereka juga memakan makanan yang serba mentah.

           Pada suatu ketika istri kepada kelompok yang tinggal di gua-gua berkata kepada suaminya bahwa ia ingin makanan yag bukan hanya dari binatang hasil buruan hutan,tapi ingin mengganti dengan jenis makanan dari tumbuh-tumbuhan.Mendengar ucapan istrinya tersebut LA PASINDAEDAENO atau kepala kelompok masyarakat gua pergi untuk bermeditasi. Beberapa hari kemudian selesailah meditasinya dan beliau mendapat petunjuk yakni harus mengorbankan anak laki-laki mereka, kemudian jasadnya dibagi empat dan dikuburkan di empat penjuru di tenga hutan. Petunjuk tersebut di laksanakan oleh Kepala kelompok masyarakat gua. Empat puluh hari kemudian di panggil istrinya untuk masuk hutan, dan setelah tiba di tempat di mana anak mereka dikuburkan jasadnya, mereka melihat tumbuhan menjalar berupa umbi- umbian termasuk “KOLOPE” (gandung). Dengan melihat tumbuhan tersebut maka gembiralah hati sang istri dan sang suami berkata : bahwa sesungguhnya itulah anak laki-laki mereka.

          Masyarakat pada waktu itu hanya bersenag-senang pada waktu siang hari karena terdapat matahari, tapi bila pada malam hari mereka sangat susah dan sedih,sehingga mereka berkeyakinan bahwa mataharilah yang membuat mereka bisa hidup.

          Selanjutnya kepala kelompok masyarakat gua bermeditasi lagi guna mendapatkan petunjuk untuk kelanjutan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam perjalanan beliau melihat angin yang sangat kencang bertiup dan melihat daun-daun gandung beterbangan di langit sejak saat itu beliau merenung dan dalm renungannya beliau mendapatkan petunjuk untuk naik ke mata hari, sehingga beliau menggerakkan seluruh masyarakatnya untuk memetik daun gandung dan membuat tali sepanjang-panjangnya.Daun gandung tersebut disusun di atas rangkaian bambu yang sudah diraut dan dibuatkan layang-layang seperti model segi empat,lalu diikat dengan tali dan diterbangkan secara beramai-ramai.Setelah layang-layang sudah terbang mereka bersorak-sorak gembira dan masing-masing berpegang di tali layang-layang agar mereka dapat terbang ke langit dan sampai ke matahari.

          Tetapi niat tersebut tidak mungkin tercapai hingga pada akhirnya mereka putus asah, namun mereka tetap yakin bahwa layang-layang merupakan sarana penolong mereka dan memayungi mereka agar tidak terkena sengatan matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia.Keyakinan ini masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat di Pulau Muna hingga sampai sekarang ini.Sehingga setiap petani membuat layang-layang dan layang-layang tersebut bukan hanya suatu benda untuk bermain tapi ada nilai-nilai tersendiri yang sangat sakral terutama pasa upacara-upacara sesudah panen.

          Layang-layang biasanya menjadi hiburan mereka yang di naikan sejak sore hari hingga pagi. dibuatlah suatu upacara dengan memutuskan tali layangan tersebut dengan niat bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik (kesialan) terbawa oleh layang-layang yang telah putus itu disertai sesajen berupa ketupat dan makanan-makanan lain yang di gantung ditali layang-layang.
Dari cerita diatas dapat di simpulkan bahwa orang zaman dahulu mempunyai tekad dan keyakinan yang sangat kuat ini terbukti dari di buatnya sebuah layangan dengan maksud agar mereka dapat naik kematahari untuk mencapai sumber kehidupan yang terbaik karena mereka mempunyai anggapan bahwa mataharilah yang membuat mereka hidup. Dan walaupun mereka gagal dan itu tidak mungkin, mereka tetap yakin bahwa layang-layang merupakan sarana penolong mereka dan memayungi mereka agar tidak terkena sengatan matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia.
Semangat leluhur kita seperti pada cerita layang-layang di atas perlu di aplikasikan dalam kehidupan yang artinya dalam hal ini yakinilah apa yang kamu lakukan dan berusahalah atas apa yang kamu yakini walaupun itu tidak mungkin atau mustahil, pasti suatu saat generasi yang akan datang  akan melihat keyakinan tersebut hingga terwujud walaupun bukan sekarang dan bahkan setelah kamu tidak ada.
Oleh karena itu marilah kita teruskan tradisi dan kebudayaan warisan yang telah di berikan leluhur kita terdahulu atas keyakinan mereka berharap agar generasi mendatang dapat mengingat dan melanjutkan apa yang menjadi tujuan mereka terdahulu. Dan pada masa sekarang merupakan awal perkambangan dan pengenaalan tradisi muna salah satunya yaitu “kaghati” keberbagai Negara ini terbukti, Untuk ketiga kalinya festival layang-layang internasional digelar di Kota Raha. Acara yang berlangsung pada 11-14 Agustus ini diikuti 22 peserta dari delapan negara yaitu Jepang, Prancis, Taiwan, Malaysia, Jerman, India, Cina, dan Swedia. Acara ini juga dikuti 13 provinsi di Tanah Air dengan peserta sebanyak 26 orang.

          Orang Muna pantas berbangga dengan Khagati. Berkat ketrampilannya membuat khagati, Lamasili, Lasima dan sejumlah rekannya, telah beberapa kali menginjakkan kaki di benua Eropa, mengikuti sejumlah festival layang-layang internasional. Saat-saat seperti itu, khagati selalu menjadi primadona. Sayangnya, di negerinya sendiri tak banyak orang yang mengenal Khagati. Layang-layang yang masih bersinggungan dengan masa ribuan tahun telah berlalu
       
 Fakta sejarah tentang keberadaan layang-layang di Muna yang telah menjadi polemik dunia yaitu dengan adanya lukisan orang bermain layang-layang yang ada di salah satu Gua Purbakala sesuai hasil penelitian Arkeologi Nasional tahun 1981,1986,1991:
•Periodik : Epi – Paleotik (Mesolitik) atau zaman pra-sejarah,peralihan peradaban manusia
zaman batu.
•Lokasi : 8 km dari kota raha kemudian menempuh jalan raya pengerasan 5 km
selanjutnya tracking (jalan kaki) sejauh 4 km ke arah tenggara.Berada di atas bukit
batu ketinggian ± 80 km dengan kemiringan 90°.

           Layang-layang yang seidentik dengan kaghati juga ada di kepulauan pacifik yang di miliki oleh suku maori yang mereka sebut MANU sedang di Muna ada juga jenis layang-layang untuk mainan anak-anak kecil yang disebut KAMANU-MANU KADAO yang hanya terdiri dari satu helai daun ubi gandung (kolope).
           Tapi kayaknya tradisi layangan di Muna hampir punah. Festival layang-layang sudah jarang dilakukan sejak 4 tahun terakhir. mestinya ini tetap diberdayakan agar nilai-nilai kebudayaan muna tidak akan punah,

          Mulai dari sekarang mari kita jangan berhenti meraih impian tentunya dengan usaha karna yakinlah bahwa tuhan akan memberikan hasil sesuai dengan apa yang hambanya usahakan, serta teruskanlah kebudayaan kita agar di masa yang akan datang masih terpelihara.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar