Translate

Kamis, 31 Mei 2012

KRISIS KEPERCAYAAN

Harus diakui bahwa sampai sekarang belum ada pemimpin Negara ini yang bersikap negarawan sejati melainkan soekarno dan Suharto. Kedua sosok inilah yang pantas menjadi panutan bagi pemimpin generasi mendatang.mengnai sifat kenegarawan yang sejati

    Sifat kenegarawan inilah yang sekarang telah hilang dalam diri para pemimpin di negara ini. Celakanya, munculah lagi sifat terang-terangan kepada rakyat tentang perilaku negatif dari para pilihan rakyat. Sifat mereka yang menonjol antara lain 1. Haus akan kekuasaan yang berlebihan 2. Haus kekayaan yang berlebihan 3. Sikap tidak peka terhadap nasib sesama lebih mengutamakan kepentingan kelompok.

    Seperti inilah gambaran watak penguasa sekarang ini. Salah satu penyebabnya adalah dari segi pendidikan tentang bidang keahlian sehingga kurang kompeten, tidak bisa berpikir teknik dan hanya berpikir untung rugi. Kemudian penyebab utamanya yaitu sistem perpolitikan yang tidak tertata.

    Berbicara tentang pemimpin yang haus kekuasaan dan kekayaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa yang terjadi sekarang ini, ketika seseorang menjadi penjabat tujuannya adalah mau mencari pekerjaan dan kekayaan. Ini tidak terlepas dari sistem perpolitikan yan tidak tertata. Bisa kita bayangkan dari susunan kabinet menteri yang ada di dalamnya dari 34 orang ada 18 orang dari partai politik. Kalau memang menteri  yang diangkat ini brilian dan cemerlang dari parpol tersebut bolehlah dimasukkan dalam susunan kabinet. Akan tetapi, masuknya para menteri ini berdasarkan hitung-hitungan untung-rugi atau seperti transaksi politik, apabila suatu partai mengusung calon, ketika menjabat maka partai itu mempunyai andil dari instansi yang dipimpin si calon ini sesuai dengan kesepakatan.    

    Akhir-akhir ini sudah nampak terlihat dampak dari sisitim politik seperti ini. Bayangkan saja, ada menteri yang berulang-ulang dipanggil KPK dan kemudian disebut-sebut namanya terlibat korupsi, anehnya lagi dia pemimpin partai politik, tetapi disini di tidak merasa bersalah bahkan berpidato mengenai anti korupsi, dan berdalih belum ada alat bukti yang cukup kuat. Orang sepert ini harusnya menyadari diri, secara moral pejabat seperti ini kepercayaan dan citranya telah hilang tinggal berbicara masalah hukum.

    Untuk mengatasi krisis semacam ini, sistem politik dan partai politik harus dibenahi terlebih dahulu. Dan kemudian, kepentingan rakyatlah yang menjadi prioritas utama bagi para pemimpin negeri ini. Untuk para rakyat jangan lagi memilih pemimpin yang hanya mengandalkan citra saja, lain kata lain perbuatan. Jangan plilih politisi-politisi busuk, jangan pernah lupa, kita bukan pelupa, jangan karena serangan fajar langsung tergiur dan melupakan landasan yang telah dibangun. Oleh karena itu semua harus dibenahi demi kebaikan negeri ini, kalau tidak kita akan kehilangan kesempatan dan keterbukaan, dan mungkin negara ini akan tinggal kenangan saja.

Jumat, 25 Mei 2012

Alternatif dari Radikal



Demonstrasi mahasiswa hari-hari belakangan ini sedang disorot publik. Berungkali demonstrasi mahasiswa berujung bentrok. Sejumlah pihak menyebutnya sebagai indikator bahwa gerakan mahasiswa semakin radikal. Terdapat pula analisis mengapa demonstrasi mahasiswa seringkali berakhir dengan baku hantam. Misalnya baku hantam terjadi karena semata-mata konsekuensi dari ‘kondisi lapangan yang tidak terduga’. Meski dapat diterima, mengapa gerakan mahasiswa mengambil sikap ‘siap’ bentrok dengan aparat? ini sebenarnya tidak harus terjadi apabila mahasiswa tidak hanya berfokus pada tuntutan tanpa ada jalan keluar serta momentum..

Ada jalan alternatif yang harus di tempuh dalam karakteristik gerakan mahasiswa yang memanfaatkan momentum membuat erakan ahasiwa menjadi spontanitas. Pola ini dapat dicermati dari isu demonstrasi: menolak atau menuntut (pemenuhan atau pembatalan kebijakan). Padahal gerakan mahasiswa mestinya dapat melangkah menjadi gerakan pemersatu dengan isu demonstrasi: menawarkan. Pada banyak isu demonstrasi, gerakan mahasiswa baru bergerak ketika isu atau kebijakan beberapa saat lagi akan ditetapkan. Sangat jarang isu disikapi ketika sedang dirumuskan oleh pemerintah atau dewan.

Gerakan pemersatu yang dilakukan selama ini masih banyak bermain pada wilayah normatif dan seremonial (memanfaatkan momentum). Misalnya demonstrasi dengan isu mencintai lingkungan, umumnya memanfaatkan momentum Hari Bumi. Sesaat setelah seremoni usai, Gerakan Mahasiswa dengan cepat berganti isu. Gerakan pemeratu gerakan mahasiswa sebenarnya strategis untuk digarap. Misalnya berdemonstrasi menawarkan alternatif yang sedapat mungkin runut, dan sistematis tidak sekedar bahasa jargon dalam poster demonstrasi pada isu-isu aktual yang sedang terjadi.

Kamis, 24 Mei 2012

Pendidikan


Menemukan strategi yang tepat untuk dunia pendidikan nasional merupakan topik yang sering mencuat di kalangan akademisi tanah air. Sebab, pada dasarnya pendidikan tidak hanya sekedar melibatkan proses penambahan pengetahuan (intelektualitas) saja, tapi juga harus mengarah pada pengembangan karakter, watak (akhlak), dan motivasi di kalangan peserta didik. Negara seperti Indonesia, dengan populasi keempat terbesar di dunia, harus mampu mengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pengembangan bakat. Pengembangan sumber daya manusia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplorasi sumber daya alam.
Sebuah pertanyaan yang kerap muncul adalah mengapa negara seperti Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyatnya? Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan daya saing suatu bangsa bukan ditentukan oleh sumber daya alam, karena sumber daya alam bersifat pemberian, tapi ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia merupakan kekayaan yang lebih berharga daripada sumber daya alam. Negara dengan sumber daya manusia yang melimpah dan berkualitas adalah faktor yang mampu meningkatkan produktivitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat memberikan nilai tambah bagi daya saing bangsa.
Musuh terbesar bangsa kita, semenjak bangsa kita merdeka hingga kini adalah kemiskinan dan kebodohan. Dua mata rantai yang tampaknya belum mampu dibenahi sehingga membentuk suatu lingkaran setan yang tak putus-putusnya menyengsarakan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya, dua mata rantai ini bersumber pada satu hal: pendidikan. Potret pendidikan bangsa kita yang masih didominasi oleh kalangan menengah ke atas, ditambah lagi dengan komersialisasi pendidikan, telah memburamkan harapan anak-anak bangsa yang kurang berkecukupan untuk menikmati pendidikan. Konsep pendidikan untuk semua kalangan belum bisa diimplementasikan. Akibatnya, muncullah citra bahwa pendidikan hanya bagi orang kaya dan menjadi simbol status sosial.
Pendidikan seharusnya menjadi dataran bersama yang menempatkan seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama. Pendidikan menciptakan pengetahuan bersama yang menjadi dasar seluruh tindakan bernegara sehingga kesatuan bangsa dapat diwujudkan berdasar prinsip kesetaraan untuk mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menduduki ruang utama dalam rangka pembangunan bangsa dan negara.
Kucuran  anggaran  pendidikan  sebesar 20% dari APBN disertai  berbagai  program  terobosan  sepertinya  belum  mampu  memecahkan  persoalan mendasar  dalam  dunia  pendidikan,  yakni  bagaimana  mencetak  alumni  pendidikan  yang unggul, beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Pengetahuan dapat dipelajari; tapi sikap, karakter dan perilaku sulit untuk dibentuk. Paradigma pendidikan harus dikembalikan kepada filosofi pendidikan yang menjabarkan bahwa sesungguhnya pendidikan harus mampu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi segala perubahan, mampu mencerdaskan, dan memanusiakan peserta didik. Dengan demikian, pendidikan akan menghasilkan manusia paripurna yang dapat memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial.
Arti dari pendidikan itu sendiri seharusnya tidak direduksi hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Pendidikan harus mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Membatasi pendidikan hanya untuk mengejar kemampuan kognitif sebenarnya telah menyempitkan makna dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak hanya tentang proses pembelajaran teknis, tapi juga membantu setiap manusia untuk dapat mengembangkan bakat dan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin di masa depan yang berintegritas dan bertanggung jawab.
Kemajuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran para pendidik. Para pendidik tidak hanya bertugas mengajar saja, tapi juga harus mampu memberi teladan, motivasi, dan dorongan. Peran ini bukan hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, tapi juga merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Pendidikan harus dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian beranjak ke lingkup yang lebih besar, sehingga terbentuklah masyarakat pembelajar yang kondusif.
Mendesain ulang strategi pendidikan nasional berarti membangkitkan kembali kesadaran setiap komponen bangsa, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, institusi (pemerintah dan swasta), maupun negara untuk sama-sama saling berinteraksi dalam menyiapkan kader-kader penerus bangsa yang unggul dan menciptakan sebuah sistem yang dapat memberlakukan pendidikan untuk semua kalangan. Jika tidak begitu, pendidikan hanyalah sebuah barang mewah yang tidak setiap orang dapat menikmatinya.