Translate

Kamis, 07 Juni 2012

ANALISIS CERPEN


Cerpen
PILIHAN
Oleh Toha Mohtar


Pagi ini rencana dalam kepalaku sudah rapi. Menghampiri Didi di rumahnya, ke Gelanggang Remaja ikut merebut Piala Kejuaraan sekabupaten, pesta di sekolah, menerima rapor, esoknya pulang liburan dengan mengayuh sepeda sejauh seratus tiga puluh kilometer. Tetapi, keluar kamar mandi bibiku sudah menghadang  di depan pintu. Wajahnya tidak cerah.
“Sini, Dam! Barusan Om Herman kemari. Ada kabar Samsul sakit. Sudah empat minggu ini di rumah sakit, kena thypus.”
Mendadak kepalaku seprti kosong, lenyap semua rencana, pelan-pelan terbayang Samsul adikku.
“Lho, kok diam. Cepat pakai baju. Siapkan yang perlu kau bawa. Kita berangkat dengan kijang Om Herman pukul delapan.”
“kok baru sekarang beritanya, bi?”
“Tahulah! Barangkali ayahmu cemas kalau akan mengganggu ulangan umummu.”
Dari kamar aku masih dengar suara bibi, “Ini kusiapkan surat untuk Kepala Sekolah, mohon absen dan tidak bisa ikut main bulu tangkis. Ada cadanganya, kan?”
Aku turun halaman dengan surat bibi di tangan, sementara suaranya masih mengejar dari belakang, “Jangan terlalu lama, lh.o, Dam! Waktu besuk pukul sebelas.”
Jalanan masih sepi. Satu dua orang ibu-ibu mencegat bakul sayuran, beberapa becak di tikungan menanti muatan.
Didi terkejut melihat kedatanganku di pagi buta dengan napasku yang naik turun.
Kuceritakan seluruhnya kepada dia, kutunjukkan surat bibi, dan bahwa dengan amat menyesal aku tidak bias memperkuat regu.
Didi mendengarkan dengan diam, kepalanya menunduk, ia tidak segera berbicara. Sejak semula ia mengharapkan piala idaman itu terutama melalui permainanku.
“Dam!”, katanya sungguh-sungguh, “Kagetku mendengar sakitnya Samsul tidak kurang dari yang kau alami ketika kau dengar pertama kali. Kau bilang ia sudah empat minggu dalam rawatan rumah sakit. Bahaya yang menakutkan itu sudah lewat, tak perlu kau risaukan, Samsul selamat, bahkan engkau harus bersyukur!”
“Benar, Di?”
“Lho, apa gunanya aku jadi anaknya Dokter Harun?” Didi bisa tertawa sekarang,dan hatiku tidak begitu tegang lagi.
Didi diam, aku juga diam. Kukira banyak yang hendak ia katakan, dan hendak menimbang mana yang mesti didahulukan.
“yang paling penting hari ini,” katanya, “Engkau bertemu Samsul tepat waktunya ketika pintu besuk pasien dibuka, pukul sebelas.” Didi berhenti, memberi waktu bagiku untuk memahami ucapannya.
“Tetapi itu itdak berarti bahwa engkau harus berangkat bersama Paman dan Bibi dengan kijang Om Herman, kan?” Di sini Didi berhenti lagi, dan aku mulai meraba ke mana sesungguhnya arah pembicaraannya.
“Maksudmu?”
“Engkau berangkat bersama kami dengan mobil lain. Leila, Tommy dan Songkar pasti ingin menjenguk Samsul. Kita berangkat pukul sembilan dengan sopir Mang Karta.”
“sopir ayahmu?”
“Ya! Dia bekas seorang sopir ambulans di kota ini. Dia bisa sampai di kotamu dalam waktu dua jam, tidak kurang.”
“Tetapi,”
Didi memotong, “Aku akan bicara dengan Paman dan Bibi serta Om Herman. Aku yang urus kendaraan dan sopirnya, itu tugasku. Tugasmu turun lapangan pukul delapan, mengalahkan lawanmu jangan lebih dari empat puluh lima menit.”
 Didi menatap mataku seperti ia menantikan pikiranku.
“Dam! Kalau memang masih ada pilihan, kenapa kita tidak ambil yang terbaik. Baik untukmu, baik untuk Samsul, baik untuk teman-teman, baik untuk kita semua.”
Kulurkan tanganku, ia menjabatnya erat sekali. Surat bibiku kuremas-remas dan kubuang dalam keranjang sampah. Aku turun lapangan pukul delapan tepat, barangkali sama waktunya dengan keberangkatan kijang Om Herman. Didi tak kulihat di antara teman-teman yang mengelilingi lapangan. Di atas kulihat wartawan radio mulai menyiarkan pertandingan final ini untuk pertama kali. Lawanku bertubuh tegap dan tinggi dengan pukulan bolanya yang amat keras dan kencang.
Aku sudah kenal dengan permainan anak ini. Dalam beberapa menit bertanding, aku sudah kenal gayanya. Ia tidak begitu peduli buat tahu kemampuan lawan, senang mengundang tepuk tangan, dan amat boros dengan tenaga. Pada babak pertama ia main menggebu-gebu dengan loncatanya yang amat garang. Ia terus meniggalkanku dari angka ke angka, dan aku hanya perlu menempatkan bola yang membuatnya terus bergerak. Menjelang akhir babak, ia mulai tampak loyo. Keringatnya deras mengalir dan pukulannya tak lagi tajam. Ini membuatku tidak sulit mengejar ketinggalanku, dan aku berhasil menutup babak pertama ini dengan kemenangan tipis. Tetapi babak kedua lawanku sudah kehabisan segalanya, dan ia runtuh karena kesalhan sendiri. Perlawanan itu berakhir lebih cepat dari yang Didi minta.
Didi menyambutku di luar lapangan sambil berbisik, “Beres!Cuma Mang Karta berhalangan. Jangan cemas, ada yang lain.”
Sesudah membersihkan keringat dan ganti baju, kami berempat berjalan menuju mobil. Betapa aku terkejut melihat Dokter Harun duduk di belakang setir. Ia memberiku salam dengan jabatan tangan lalu mematikan radio.
Didi tersenyum-senym.
“Wah, hebat juga kalian, disiarkan langsung lewat radio. Kukira engkau kalah mulanya, Dam!”
Kami berangkat pukul sembilan masih kurang sepuluh menit. Barangkali kijang Om Herman 40 kilometer di depan kami.
Didi benar. Ayahnya lebih tampak seorang jago balap daripada seorang dokter. Di bawah tangannya, mobil bergera dengan mulus, mesinnya yang 2000 cc menarik tanpa suara. Di luar kota, di bulak-bulak tebu yang sepi dan panjang itu mobil melncur seperti anak panah. Jarum kecepatan lebih banyak di atas angka seratus.
Kami memasuki halaman rumah sakit sebelum pukul sebelas. Di tempat parkir aku tidak menemukan kijang Om Herman.
Didi dan anak-anak disuruh menunggu di luar, aku di bawa Dokter Harun memasuki ruang dokter. Ia menemui seorang sahabatnya. Seorang jururawat membimbingku ke kamar Samsul. Penjelasan yang diberikan jururawat sama dengan dugaan Didi. Kendati tubuh Samsul kurus kering dan rambutnya hampir rontok semua, ia sudah boleh dianggap sembuh. Meski demikian, menetes juga air mataku waktu menatapnya untuk pertam kali.
“Mas Dam menang, ya?”, sambutnya dengan uluran tangannya yang telah tipis itu.
“Dari mana kau tahu, Sul?”, tanyaku dengan senyum paksa.
Samsul menarik radio saku Sanyo yang kukirim padanya lima bulan yang lalu, dari balik bantal.
“Regumu juga menang dan mendapatkan piala. Selamat, ya! Kalau tidak sakit aku sudah pasti nonton.”
Lonceng besuk berbunyi lantang. Para pengunjung memasuki ruangan dengan suara langkah kaki terseret di atas ubin. Waktu aku menoleh, kulihat Paman, Bibi, Om Herman, Ayah, dan Ibu berduyun-duyun mendekati depan Samsul. Semua terkejut melihat aku sudah di dalam.
“Dam!”, seru Paman, “kau naik burok, ya? Kan belum lama kami dengar kau ikut main.” Mereka itu ternyata juga mendengarkan siaran radio di mobil. Dokter Harun muncul dari seberang diikuti Didi dan teman-temannya. Mereka bersalaman, dan barulah mereka mengerti bagaimana kami bisa mengejar mereka.
Betapa senang hatiku pada hari itu. Aku tidak mengecewakan keluarga, aku bisa menghabiskan hari liburku untuk ikut mendampingi Samsul sampai sembuh sama sekali. Didi benar. Ia telah menolongku untuk mengambil pilihan yang terbaik dengan menggunakan kerja pikirannya yang tidak tergesa-gesa.  
Adapun dalam menelaah cerpen yang berjudul “PILIHAN” ini dengan menggunakan pendekatan objektif. Yang mana pendekatan objektif ini adalah pendekatan yang memusatkan perhatian yang semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik. Dengan kata lain pendekatan objektif didasarkan pada otonomi karya sastra atau memusatkan telaahnya pada segi-segi intrinsik, struktur  dalam dari karya sastra itu saja. Adapun unsur-unsur intrinsik dalam cerpen “PILIHAN” yang menjadi telaah saya adalah:
1. Tema
     Tema adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita yang mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai pedoman bagi pengarang untuk menggarap sebuah cerita, sasaran dan tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam suatu alur.
     Tema dalam cerpen”PILIHAN”adalah sebuah pilihan. Karena dari semua cerita dari awal sampai akhir cerita, mengisahkan seorang anak yang dihadapkan pada beberapa pilihan, yang mana harus memilih sebuah pilihan yang terbaik untuk semua orang.
2. Alur atau Plot
     Sebuah cerita merupakan rangkaian peristiwa, dan peristiwa yang dirangkaikan itu merupakan susunan dari kejadian-kejadian yang lebih kecil yang disusun secara logis dan kausalitas itulah yang disebut Alur atau Plot.
     Untuk cerpen yang berjudul “PILIHAN” beralur erat karena dalam cerpen ini memiliki pelaku lebih sedikit sehingga hubungan antarpelaku erat. Tiap-tiap rinciannya, tiap-tiap tokoh, lakuan, dan peristiwanya merupakan bagian yang vital dan integral dari vital dan satu pola alur yang telah dirancang baik-baik, selaras dan seimbang.
3. Perwatakan atau Penokohan
     Perwatakan atau penokohan adalah pelukisan tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita. Berdasarkan fungsi tokohnya kajian perwatakan menampilkan adanya tokoh utama dan tokoh pendamping.
    -Tokoh utama
     Dam : sifatnya atau wataknya belum bisa menentukan sebuah pilihan yang yang terbaik dan selalu bimbang, serta penurut.
   -Tokoh pendamping
     Bibi : wataknya agak kasar seperti dengan menyuruh dam dengan perkataan yang agak kasar.
     Didi : wataknya baik, suka menolong, bijak dalam menyikapi sesuatu, dapat mencari solusi yang terbaik. Seperti mencari solusi buat Dam dengan pilihan lain yang lebih baik.
    Samsul : seorang yang tabah, walaupun dia sakit dia tetap menegur Dam dan mengulurkan tanganya sebagai tanda selamat atas kemenangan Dam.
4. Latar atau Setting
    Latar atau Setting adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita tercakup di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa, waktu, suasana, dan periode sejarah.
    Adapun yang menjadi latar dalam cerpen yang berjudul “PILIHAN” adalah di sebuah rumah sakit dan di lapangan bulu tangkis.
5. Sudut Pandang
    Sudut pandang adalah tempat pengarang di dalam cerita dan hubungannya dalam cerita, serta dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya.
   Dalam cerpen “PILIHAN” memakai sudut pandang pengarang terlibat, pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atau yang lain. Dalam cerita ini pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya).
6. Gaya Bahasa
    Gaya bahasa ini mencerminkan citarasa dan karakteristik personal, bersifat pribadi, milik perorangan, sehingga setiap pengarang memiliki gaya bahasanya sendiri-sendiri yang khas. Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam cerita adalah gaya bahasa klimak, gaya bahasa yang melukiskan suatu peristiwa, persyaratan, dengan pengucapan yang makin meninggi. Seperti Dam mendengar berita dari bibinya bahwa Samsul sakit thypus, semua rencananya hilang, dan dia besok tidak bisa mewakili sekolahnya dalam pertandingan bultangkis.
7. Amanat
    Amanat adalah pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan/dikemukakan pengarang lewat cerita.yang menjadi amanat dalam cerpen ini adalah dalam menentukan sebuah pilihan kita tidak boleh terburu-buru dan harus dengan kepala dingin.agar dapat memilih suatu pilihan yang terbaik untuk semua orang.












  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar